Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana, menyampaikan perkembangan terbaru soal penelusuran dugaan penyelewengan dana dari lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT). Pasca pemberitaaan penyelewengan dana ACT, Ivan menyebut, data semakin banyak masuk dilaporkan penyedia jasa keuangan. Untuk itu, PPATK menghentikan sementara transaksi 60 rekening ACT.
"Kami memerlukan pendalaman lebih lanjut dan serius terkait data data yang masuk dari penyedia jasa keuangan." "Jadi, ada di 33 penyedia keuangan sudah kami hentikan," lanjutnya. Menurut Ivan, sebelumnya PPATK telah melakukan kajian terkait dana masuk dan keluar ACT sejak lama.
PPATK pun mendalami struktur entitas kepemilikan yayasan (ACT), bagaimana mengelola pendanaan. Kemudian, PPATK juga melihat entitas yang dibicarakan (ACT) terkait beberapa kegiatan yang dimiliki oleh pendirinya. Ivan menyebut, ada beberapa PT yang dimiliki pendirinya dan pendirinya termasuk orang yang terafiliasi karena menjadi salah satu pengurus.
"Ada yayasan yayasan lain, terkait kurban dan waqaf." "Kemudian, di bawahnya ada lapisan perusahaan terkait investas, lalu kemudian ada yayasan ACT," jelas Ivan. Ivan mengatakan, ada transaksi yang dilakukan secara masif terkait entitas yang dimiliki oleh pengurus.
Oleh karena itu, PPATK menduga hal ini merupakan transaksi yang dikelola dari bisnis ke bisnis. "Jadi, tidak murni menghimpun dan kemudian disalurkan, tapi dikelola dulu di bisnis tertentu dan ada keuntungan," ucapnya. Ivan memberikan contoh, ada satu entitas perusahaan yang dalam waktu dua tahun melakukan transaksi dengan ACT lebih dari Rp 30 milliar.
"Ternyata pemilik perusahaan tadi terafiliasi dengan pengurus dari entitas yayasan tadi," ungkap Ivan. Sebelumnya, Kepala PPATK membenarkan adanya temuan terkait dugaan penyelewengan dana dari lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT). "Ya itu belasan milliar lah, kami tidak bicara semua diduga menyimpang," jelas Ivan dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Selasa (5/7/2022).
Ivan juga menyebut, adanya indikasi pidana penggelapan, karena adanya penggunaan dana sumbangan publik untuk kepentingan pribadi. Selain itu, Ivan mengatakan, mestinya aktivitas pengumpulan dana sumbangan publik tidak memotong dana yang akan diberikan kepada penerima bantuan. Diketahui, kasus dugaan penyelewengan dana lembaga amal Aksi Cepat Tanggap (ACT) menjadi sorotan masyarakat.
Bahkan, tagar Jangan Percaya ACT sempat trending sosial media Twitter. Pengguna media sosial mempermasalahkan transparansi ACT dalam hal penyaluran dana donasi. Bahkan, dalam sebuah laporan berita media, gaji CEO ACT disebut mencapai Rp 250 Juta per bulan.
Sementara gaji pejabat menengahnya mencapi Rp 80 Juta perbulan, ditambah fasilitas mobil Alphard atau Fortuner. Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan dugaan transaksi ke arah tindak pidana terorisme di lembaga ACT. Merespons hal tersebut, Aswin menyebut, kasus ini masih dalam proses penyelidikan penyidik Densus 88.
"Terima kasih infonya. Permasalahan ini masih dalam penyelidikan Densus 88," kata Aswin saat dikonfirmasi , Selasa (5/7/2022). Aswin menjelaskan, kasus ini dalam penanganan internal Densus 88. Hal yang sama juga dilakukan Bareskrim untuk menyelididiki dugaan tindak pidana lainnya.
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo, menyampaikan Polri tengah mendalami kasus dugaan penyelewengan dana oleh ACT. Kasus tersebut, kini masih dalam proses penyelidikan dan ditangani oleh Bareskrim Polri. "Info dari Bareskrim masih proses penyelidikan dulu," kata Dedi kepada wartawan, Senin (4/7/2022).
Simak berita lainnya terkait